SMK KESEHATAN YAPIKA MAKASSAR
Kamis, 15 November 2012
IKD
TRANSKULTURAL NURSING
Transcultural
Nursing adalah suatu area/wilayah keilmuwan budaya padaproses belajar dan
praktek keperawatan yang fokus memandang perbedaan dankesamaan diantara budaya
dengan menghargai asuhan, sehat dan sakit didasarkanpada nilai budaya manusia,
kepercayaan dan tindakan, dan ilmu ini digunakanuntuk memberikan asuhan
keperawatan khususnya budaya atau keutuhan budayakepada manusia (Leininger,
2002).
Asumsi
mendasar dari teori adalah perilaku Caring. Caring adalah esensidari keperawatan,
membedakan, mendominasi serta mempersatukan tindakankeperawatan. Tindakan
Caring dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan dalammemberikan dukungan
kepada individu secara utuh. Perilaku Caring semestinyadiberikan kepada manusia
sejak lahir, dalam perkembangan dan pertumbuhan,masa pertahanan sampai dikala
manusia itu meninggal. Human caring secaraumum dikatakan sebagai segala sesuatu
yang berkaitan dengan dukungan danbimbingan pada manusia yang utuh. Human
caring merupakan fenomena yanguniversal dimana ekspresi, struktur dan polanya
bervariasi diantara kultur satutempat dengan tempat lainnya.
A. Konsep dalam Transcultural Nursing
1.
.Budaya
adalah norma atau aturan tindakan dari anggota kelompok yangdipelajari, dan
dibagi serta memberi petunjuk dalam berfikir, bertindak danmengambil keputusan.
2.
Nilai
budaya adalah keinginan individu atau tindakan yang lebih diinginkan atau
sesuatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu danmelandasi
tindakan dan keputusan.
3.
Perbedaan
budaya dalam asuhan keperawatan merupakan bentuk yangoptimal dari pemberian
asuhan keperawatan, mengacu pada kemungkinanvariasi pendekatan keperawatan yang
dibutuhkan untuk memberikan asuhanbudaya yang menghargai nilai budaya individu,
kepercayaan dan tindakantermasuk kepekaan terhadap lingkungan dari individu
yang datang danindividu yang mungkin kembali lagi (Leininger, 1985).
4.
Etnosentris
adalah persepsi yang dimiliki oleh individu yang menganggapbahwa budayanya
adalah yang terbaik diantara budaya-budaya yang dimilikioleh orang lain.
5.
Etnis
berkaitan dengan manusia dari ras tertentu atau kelompok budaya yangdigolongkan
menurut ciri-ciri dan kebiasaan yang lazim.
6.
Ras
adalah perbedaan macam-macam manusia didasarkan padamendiskreditkan asal muasal
manusia.
7.
Etnografi
adalah ilmu yang mempelajari budaya. Pendekatan metodologipada penelitian
etnografi memungkinkan perawat untuk mengembangkankesadaran yang tinggi pada
perbedaan budaya setiap individu, menjelaskandasar observasi untuk mempelajari
lingkungan dan orang-orang, dan salingmemberikan timbal balik diantara
keduanya.
8.
Care
adalah fenomena yang berhubungan dengan bimbingan, bantuan,dukungan perilaku
pada individu, keluarga, kelompok dengan adanya kejadianuntuk memenuhi
kebutuhan baik aktual maupun potensial untuk meningkatkankondisi dan kualitas
kehidupan manusia.
9.
Caring
adalah tindakan langsung yang diarahkan untuk membimbing,mendukung dan
mengarahkan individu, keluarga atau kelompok pada keadaanyang nyata atau
antisipasi kebutuhan untuk meningkatkan kondisi kehidupanmanusia.
10.
Cultural
Care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk mengetahui nilai,kepercayaan dan
pola ekspresi yang digunakan untuk mebimbing, mendukungatau memberi kesempatan
individu, keluarga atau kelompok untukmempertahankan kesehatan, sehat,
berkembang dan bertahan hidup, hidupdalam keterbatasan dan mencapai kematian
dengan damai.
11.
Culturtal
imposition berkenaan dengan kecenderungan tenaga kesehatanuntuk memaksakan
kepercayaan, praktik dan nilai diatas budaya orang lainkarena percaya bahwa ide
yang dimiliki oleh perawat lebih tinggi daripadakelompok lain.
B.
Paradigma
Transcultural Nursing
Leininger
(1985) mengartikan paradigma keperawatan transcultural sebagaicara pandang,
keyakinan, nilai-nilai, konsep-konsep dalam terlaksananya asuhankeperawatan
yang sesuai dengan latar belakang budaya terhadap empat konsepsentral
keperawatan yaitu : manusia, sehat, lingkungan dan keperawatan (Andrewand
Boyle, 1995).
1. Manusia
Manusia adalah
individu, keluarga atau kelompok yang memiliki nilai-nilaidan norma-norma yang
diyakini dan berguna untuk menetapkan pilihan danmelakukan pilihan. Menurut
Leininger (1984) manusia memilikikecenderungan untuk mempertahankan budayanya
pada setiap saat dimanapundia berada (Geiger and Davidhizar, 1995).
2. Sehat
Kesehatan adalah
keseluruhan aktifitas yang dimiliki klien dalam mengisikehidupannya, terletak
pada rentang sehat sakit. Kesehatan merupakan suatukeyakinan, nilai, pola
kegiatan dalam konteks budaya yang digunakan untukmenjaga dan memelihara
keadaan seimbang/sehat yang dapat diobservasidalam aktivitas sehari-hari. Klien
dan perawat mempunyai tujuan yang samayaitu ingin mempertahankan keadaan sehat
dalam rentang sehat-sakit yangadaptif (Andrew and Boyle, 1995).
3. Lingkungan
Lingkungan
didefinisikan sebagai keseluruhan fenomena yang mempengaruhiperkembangan,
kepercayaan dan perilaku klien. Lingkungan dipandangsebagai suatu totalitas
kehidupan dimana klien dengan budayanya salingberinteraksi. Terdapat tiga
bentuk lingkungan yaitu : fisik, sosial dan simbolik.
Lingkungan fisik
adalah lingkungan alam atau diciptakan oleh manusia sepertidaerah katulistiwa,
pegunungan, pemukiman padat dan iklim seperti rumah didaerah Eskimo yang hampir
tertutup rapat karena tidak pernah ada mataharisepanjang tahun. Lingkungan
sosial adalah keseluruhan struktur sosial yangberhubungan dengan sosialisasi
individu, keluarga atau kelompok ke dalammasyarakat yang lebih luas. Di dalam
lingkungan sosial individu harusmengikuti struktur dan aturan-aturan yang
berlaku di lingkungan tersebut.Lingkungan simbolik adalah keseluruhan bentuk
dan simbol yangmenyebabkan individu atau kelompok merasa bersatu seperti musik,
seni,riwayat hidup, bahasa dan atribut yang digunakan.
4. Keperawatan
Asuhan keperawatan
adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktikkeperawatan yang
diberikan kepada klien sesuai dengan latar belakangbudayanya. Asuhan
keperawatan ditujukan memnadirikan individu sesuaidengan budaya klien. Strategi
yang digunakan dalam asuhan keperawatanadalah perlindungan/mempertahankan
budaya, mengakomodasi/negoasiasibudaya dan mengubah/mengganti budaya klien
(Leininger, 1991).
ü Mempertahankan budaya
Mempertahankan
budaya dilakukan bila budaya pasien tidak bertentangan dengan kesehatan.
Perencanaan dan implementasi keperawatan diberikansesuai dengan nilai-nilai
yang relevan yang telah dimiliki klien sehinggaklien dapat meningkatkan atau
mempertahankan status kesehatannya,misalnya budaya berolahraga setiap pagi.
ü Negosiasi
budaya
Intervensi dan
implementasi keperawatan pada tahap ini dilakukan untukmembantu klien
beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebihmenguntungkan kesehatan. Perawat
membantu klienagar dapat memilih dan menentukan budaya lain yang lebih
mendukung peningkatankesehatan, misalnya klien sedang hamil mempunyai pantang
makan yangberbau amis, maka ikan dapat diganti dengan sumber protein hewani
yanglain.
ü Restrukturisasi
budaya
Restrukturisasi
budaya klien dilakukan bila budaya yang dimilikimerugikan status kesehatan.
Perawat berupaya merestrukturisasi gayahidup klien yang biasanya merokok
menjadi tidak merokok. Pola rencanahidup yang dipilih biasanya yang lebih
menguntungkan dan sesuai dengankeyakinan yang dianut.
C.
Proses keperawatan
Transcultural Nursing
Model
konseptual yang dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskanasuhan keperawatan
dalam konteks budaya digambarkan dalam bentuk matahariterbit (Sunrise Model)
seperti yang terdapat pada gambar 1. Geisser (1991)menyatakan bahwa proses
keperawatan ini digunakan oleh perawat sebagailandasan berfikir dan memberikan
solusi terhadap masalah klien (Andrew andBoyle, 1995). Pengelolaan asuhan
keperawatan dilaksanakan dari mulai tahappengkajian, diagnosa keperawatan,
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian
adalah proses mengumpulkan data untuk mengidentifikasimasalah kesehatan klien
sesuai dengan latar belakang budaya klien (Giger andDavidhizar, 1995).
Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang adapada “Sunrise Model” yaitu
:
a. Faktor
teknologi (tecnological factors)
Teknologi
kesehatan memungkinkan individu untuk memilih ataumendapat penawaran
menyelesaikan masalah dalam pelayanankesehatan. Perawat perlu mengkaji :
persepsi sehat sakit, kebiasaanberobat atau mengatasi masalah kesehatan, alasan
mencari bantuankesehatan, alasan klien memilih pengobatan alternatif dan
persepsi kliententang penggunaan dan pemanfaatan teknologi untuk
mengatasipermasalahan kesehatan saat ini.
b. Faktor agama
dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Agama
adalah suatu simbol yang mengakibatkan pandangan yangamat realistis bagi para
pemeluknya. Agama memberikan motivasi yangsangat kuat untuk menempatkan
kebenaran di atas segalanya, bahkan diatas kehidupannya sendiri. Faktor agama
yang harus dikaji oleh perawatadalah : agama yang dianut, status pernikahan,
cara pandang klienterhadap penyebab penyakit, cara pengobatan dan kebiasaan
agama yangberdampak positif terhadap kesehatan.c. Faktor sosial dan keterikatan
keluarga (kinship and social factors)
Perawat
pada tahap ini harus mengkaji faktor-faktor : namalengkap, nama panggilan, umur
dan tempat tanggal lahir, jenis kelamin,status, tipe keluarga, pengambilan
keputusan dalam keluarga, danhubungan klien dengan kepala keluarga.
d. Nilai-nilai
budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways)
Nilai-nilai
budaya adalah sesuatu yang dirumuskan dan ditetapkanoleh penganut budaya yang
dianggap baik atau buruk. Norma-normabudaya adalah suatu kaidah yang mempunyai
sifat penerapan terbataspada penganut budaya terkait. Yang perlu dikaji pada
faktor ini adalah :posisi dan jabatan yang dipegang oleh kepala keluarga,
bahasa yangdigunakan, kebiasaan makan, makanan yang dipantang dalam kondisisakit,
persepsi sakit berkaitan dengan aktivitas sehari-hari dan kebiasaanmembersihkan
diri.
e. Faktor
kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
Kebijakan
dan peraturan rumah sakit yang berlaku adalah segalasesuatu yang mempengaruhi
kegiatan individu dalam asuhankeperawatan lintas budaya (Andrew and Boyle,
1995). Yang perlu dikajipada tahap ini adalah : peraturan dan kebijakan yang
berkaitan denganjam berkunjung, jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu,
carapembayaran untuk klien yang dirawat.
f. Faktor ekonomi
(economical factors)
Klien
yang dirawat di rumah sakit memanfaatkan sumber-sumbermaterial yang dimiliki
untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh.Faktor ekonomi yang harus dikaji
oleh perawat diantaranya : pekerjaanklien, sumber biaya pengobatan, tabungan
yang dimiliki oleh keluarga,biaya dari sumber lain misalnya asuransi,
penggantian biaya dari kantoratau patungan antar anggota keluarga.
g. Faktor
pendidikan (educational factors)
Latar
belakang pendidikan klien adalah pengalaman klien dalammenempuh jalur
pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggipendidikan klien maka
keyakinan klien biasanya didukung oleh buktibuktiilmiah yang rasional dan
individu tersebut dapat belajar beradaptasiterhadap budaya yang sesuai dengan
kondisi kesehatannya. Hal yang perlu dikaji pada tahap ini adalah : tingkat
pendidikan klien, jenispendidikan serta kemampuannya untuk belajar secara aktif
mandiritentang pengalaman sakitnya sehingga tidak terulang kembali.
D. Diagnosa keperawatan
Diagnosa
keperawatan adalah respon klien sesuai latar belakangbudayanya yang dapat
dicegah, diubah atau dikurangi melalui intervensikeperawatan. (Giger and
Davidhizar, 1995). Terdapat tiga diagnosakeperawatan yang sering ditegakkan
dalam asuhan keperawatan transkulturalyaitu : gangguan komunikasi verbal
berhubungan dengan perbedaan kultur,gangguan interaksi sosial berhubungan
disorientasi sosiokultural danketidakpatuhan dalam pengobatan berhubungan
dengan sistem nilai yang diyakini.
E. Perencanaan dan Pelaksanaan
Perencanaan
dan pelaksanaan dalam keperawatan trnaskultural adalahsuatu proses keperawatan
yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalahsuatu proses memilih strategi
yang tepat dan pelaksanaan adalahmelaksanakan tindakan yang sesuai denganlatar
belakang budaya klien (Gigerand Davidhizar, 1995). Ada tiga pedoman yang
ditawarkan dalam keperawatan transkultural (Andrew and Boyle, 1995) yaitu :
mempertahankanbudaya yang dimiliki klien bila budaya klien tidak bertentangan
dengankesehatan, mengakomodasi budaya klien bila budaya klien
kurangmenguntungkan kesehatan dan merubah budaya klien bila budaya yangdimiliki
klien bertentangan dengan kesehatan.
a) Cultural
care preservation/maintenance
1)
Identifikasi
perbedaan konsep antara klien dan perawat tentang proses melahirkan dan
perawatan bayi.
2)
Bersikap
tenang dan tidak terburu-buru saat berinterkasi dengan klien.
3)
Mendiskusikan
kesenjangan budaya yang dimiliki klien dan perawat.
b) Cultural
careaccomodation/negotiation
1)
Gunakan
bahasa yang mudah dipahami oleh klien.
2)
Libatkan
keluarga dalam perencanaan perawatan.
3)
Apabila
konflik tidak terselesaikan, lakukan negosiasi dimana kesepakatan berdasarkan pengetahuan biomedis, pandangan kliendan
standar etik.
c) Cultual
care repartening/reconstruction
1)
Beri
kesempatan pada klien untuk memahami informasi yangdiberikan dan
melaksanakannya.
2)
Tentukan
tingkat perbedaan pasien melihat dirinya dari budayakelompok.
3)
Gunakan
pihak ketiga bila perlu.
4)
Terjemahkan
terminologi gejala pasien ke dalam bahasa kesehatanyang dapat dipahami oleh klien
dan orang tua.
5)
Berikan
informasi pada klien tentang sistem pelayanan kesehatan. Perawat dan klien
harus mencoba untuk memahami budayamasingmasing melalui proses akulturasi,
yaitu proses mengidentifikasi persamaan danperbedaan budaya yang akhirnya akan
memperkaya budaya budaya mereka.
Bila
perawat tidak memahami budaya klien maka akan timbul rasa tidak percaya
sehingga hubungan terapeutik antara perawat dengan klien akanterganggu.
Pemahaman budaya klien amat mendasari efektifitas keberhasilanmenciptakan
hubungan perawat dan klien yang bersifat terapeutik.
v Evaluasi
Evaluasi
asuhan keperawatan transkultural dilakukan terhadap keberhasilan klien tentang
mempertahankan budaya yang sesuai dengankesehatan, mengurangi budaya klien yang
tidak sesuai dengan kesehatan atauberadaptasi dengan budaya baru yang mungkin
sangat bertentangan denganbudaya yang dimiliki klien. Melalui evaluasi dapat
diketahui asuhankeperawatan yang sesuai dengan latar belakang budaya klien.
v
kesimpulan
Transkultural nursing adalah suatu
area atau wilayah keilmuan budaya pada proses belajar dan keperawatan yangh
fokus memandang perbedaan dan kesamaan diantara udaya dengan menghargai asuhan,
sehat dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, keoercayaan dan tindakan,
dan ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khussnya budaya atau
keutuhan budaya kepada manusia (Leininger, 2002). Model konseptual yang
dikembangkan oleh Leininger dalam menjelaskan asuhan keperawatan dalam konteks
budaya digambarkan dalam bentuk matahari terbit (sunrise model) seperti yang
terdapat pada gambar 1. Geisser (1991) menyatakan bahwa proses keperawaqtan ini
digunakan oleh perawat sebagai landasan berfikir dan memberikan solusi terhadap
masalah klien (Andrew & Boyle, 1995).
Pengkajian
pada model transkultural in nursing meliputi, faktor teknologi (technological
factors), faktor agama dan falsafah hidup (religious & philosopical
factors), faktir sosial dan keterkaitan kekeluargaan (kinship & sosial
factors), faktor nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural values &
lifeways), faktor kebijakan dan peraturan rumah sakit yang berlaku (political
& legal factors), faktorekonomi (economical factors), faktor pendidikan
(educational factors).
Perencanaan
dan pelaksanaan dalam keperawatan transcultural adalah suatu proses
keperawatan yang tidak dapat dipisahkan. Perencanaan adalah suatu proses memilh
strategi yang tepat dan pelaksanaan adalah melaksanakan tindakan yang sesuai
dengan latar belakang budaya klien (Gigerand Daviddhizar, 1995). Ada tiga
pedoman yang yang dimiliki klien bila budaya klien tidak bertentangan dengan
kesehatan, mengakomodasi budaya kien bila budaya klien kurang menguntungkan
kesehatan dan merubah budaya klien bila budaya yang dimiliki klien bertentangan
dengan kesehatan.
DAFTAR
PUSTAKA
Pudjiadi, Solihin. ( 2000 ). Ilmu
Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta : Gaya Baru Jakarta.
Andrew . M & Boyle. J.S, (1995), Transcultural Concepts in Nursing Care, 2nd Ed, Philadelphia, JB Lippincot Company
Cultural Diversity in Nursing,
(1997), Transcultural Nursing ; Basic Concepts and Case Studies, Ditelusuri
tanggal 14 Oktober 2006 dari
Fitzpatrick. J.J & Whall. A.L,
(1989), Conceptual Models of Nursing : Analysis and Application, USA, Appleton
& Lange
Giger. J.J & Davidhizar. R.E,
(1995), Transcultural Nursing : Assessment and Intervention, 2nd Ed, Missouri ,
Mosby Year Book Inc
Iyer. P.W, Taptich. B.J, &
Bernochi-Losey. D, (1996), Nursing Process and Nursing Diagnosis, W.B Saunders
Company, Philadelphia
Leininger. M & McFarland. M.R,
(2002), Transcultural Nursing : Concepts, Theories, Research and Practice, 3rd
Ed, USA, Mc-Graw Hill Companies
Swasono. M.F, (1997), Kehamilan,
kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi dalam Konteks Budaya, Jakarta, UI Press
Royal College of Nursing (2006),
Transcultural Nursing Care of Adult ; Section One Understanding The Theoretical
Basis of Transcultural Nursing Care Ditelusuri tanggal 14 Oktober 2006 dari
__________________________,
Transcultural Nursing Care of Adult ; Section Two Transcultural NursingModels ;
Theory and Practice, Ditelusuri tanggal 14 Oktober 2006 dari
__________________________,
Transcultural Nursing Care of Adult ; Section Three Application of
Transcultural Nursing Models, Ditelusuri tanggal 14 Oktober 2006 dari
http://www.google.com/rnc.org/transculturalnursing
Selasa, 13 November 2012
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
BAB IV
STRATEGI PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI SERTA PENERAPAN SANKSINYA
A.
Strategi
Pencegahan Terjadinya Tindak Pidana Korupsi
1.
Strategi Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dalam
Perspektif Hukum Positif Berdasarkan Kebijakan pemerintah dalam pencegahan
korupsi.
Korupsi yang marak terjadi di berbagai
kegiatan-kegiatan pemerintah berhubungan dengan penatalaksanaan (pengelolaan)
berupa penerimaan dan pembelanjaan uang negara. Faktor penyebabnya antara lain
dikarenakan sistem penerimaan dan pengelolaan keuangan negara yang kurang
transparan dan akuntabel. Sektor-sektor yang rawan korupsi hampir dijumpai di
semua lini, di sektor penerimaan negara, seperti perbankan, perpajakan,
penerimaan bea cukai, disektor pengeluaran negara seperti pendidikan,
kesehatan, pekerjaan umum, perhubungan, dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan itu, maka pemerintah dalam
pemberantasan korupsi mengeluarkan kebijakan salah satunya adalah menetapkan
rencana aksi nasioanal pemberantasan korupsi (RAN-PK) 2004-2009, mengingat
penanganan korupsi memerlukan pendekatan penanganan secara sistematis, yaitu
melalui langkah-langkah pencegahan. Langkah-langkah pencegahan dalam RAN-PK
2004-2009 diproritaskan pada:
1) Mendesain ulang pelayanan publik, terutama
pada bidang-bidang yang berhubungan langung dengan kegiatan pelayanan kepada
masyarakat sehari-hari.
2) Memperkuat transparansi, pengawasan, dan
sanksi pada kegiatan-kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi dan
sumber daya manusia.
3) Meningkatkan pemberdayaan perangkat-perangkat
pendukung dalam pencegahan korupsi.[1]
Selanjutnya salah satu strategi pencegahan
tindak pidana korupsi (tipikor) antara lain sebgai berikut:
a. Menaikkan gaji pegawai rendah dan menengah
b. Menaikkan moral pegawai
c. Legalisasi pungutan liar menjadi pendapatan
resmi atau legal
d. Kalangan elite kekuasaan harus memberi
keteladanan bagi yang di bawah
Selain itu, untuk mencegah terjadinya korupsi
besar-besaran bagi pejabat yang menduduki jabatan yang rawan korupsi seperti
bidang pelayanan masyarakat, pendapatan negara, penegak hukum, dan pembuat
kebijaksanaan harus di daftar kekayaannya sebelum menjabat jabatannya sehingga
mudah diperiksa pertambahan kekayaannya dibandingkan dengan pendapatannya yang
resmi.[2]
Adapun kewenangan KPK dalam mencegah
terjadinya tindak pidana korupsi (tipikor) adalah sebagai berikut:
1) Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap
laporan harta kekayaan penyelenggara negara;
2) Menerima laporan dan menetapkan status
gratifikasi;
3) Menyelenggarakan program pendidikan
antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;
4) Merancang dan mendorong terlaksananya program
sosialisasi pemberantasasan tindak pidana korupsi;
5) Melakukan kampanye antikorupsi kepada
masyarakat umum;
6) Melakukan kerja sama bilateral atau
multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi;[3]
2.
Strategi pencegahan tindak pidana korupsi (al-ghulul)
dalam perspektif hukum Islam
Praktik korupsi di Indonesia begitu marak
subur. Meski pahit, harus diakui bahwa budaya masyarakat ikut memberikan
sumbangan besar akan hal tersebut lantaran masyarakat menganggap korupsi
sebagai bagian dari kebiasaan kultral, akhirnya masyarakat bersikap permisif,
dan bahkan dalam banyak hal menganggap praktik korupsi itu lumrah terjadi.
Sehubungan dengan itu, diperlukan upaya untuk
mencegah terjadinya tindak pidana korupsi, baik melalui jalur pendidikan maupun
melalui jalur agama:
a.
Jalur pendidikan dapat dilakukan melalui jalur formal,
nonformal, dan informal sebagai berikut:
1)
Formal
a) Merumuskan dan meyosialisasikan pelajaran/mata
kuliah civic eeducation di berbagai lembaga pendidikan, sebagai upaya
penyadaran bagi peserta didik atau mahasiswa yang kelak dapat melahirkan warga
negara yang memiliki komitmen akan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan
kebenaran.
b) Perlunya pengajaran dan penyisipan materi/mata
pelajaran “kurikulum antikorupsi” secara menyeluruh di sekolah-sekolah. Hal itu
dilakukan agar kesadaran “antikorupsi” sang anak didik dapat ditumbuhkan mulai
dari dunia pendidikan. Sejak di bangku TK sampai perguruan tinggi anak
dibiasakan jujur, tidak menipu, tidak mengambil yang bukan haknya.
c) Melakukan reformasi silabus pendidikan
keagamaan dari yang lebih menekankan kesalehan individual menuju kesalehan
sosial, dengan melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan secara lebih
kontekstual, terutama yang terkait dengan isu korupsi.
d) Mendorong akademisi untuk terus melakukan
berbagai penelitian (kualitatif maupun kuantitatif) tentang korupsi maupun yang
terkait dengan budaya dan sosiologi korupsi.
e) Membersihkan lembaga-lembaga pendidikan dari
praktik-praktik korupsi, seperti pungutan berlebihan kepada orang tua murid
dengan dalih sumbangan gedung, seragam sekolah, uang olah raga, praktikum, dan
sebagainya, yang banyak terjadi di lembaga pendidikan negeri maupun swasta.
f) Segera merealisaikan anggaran pendidikan 20%
seseuai dengan ketentuan yang diamanatkan undang-undang sehingga peluang untuk
memperoleh akses pendidikan yang berkualitas dapat merata bagi seluruh lapisan
masyarakat yang berakibat pada meningkatnya kualitas sumber daya manusia
Indonesia.[4]
2)
Nonformal
a) Mengadakan pelatihan-pelatihan dan pemantauan
antikorupsi sehingga dapat membangkitkan kesadaran secara luas pada kalangan
terdidik untuk bersama-sama memerangi korupsi.
b) Melakukan pendidikan dan penyadaran bagi segenap
warga masyarakat tentang bahaya korupsi melalui lembaga pengajian dan
pengkajian agama maupun upacara keagamaan.
c) Para pejabat, tokoh masyarkat, pemimpin
informal, serta para hartawan hendaknya memberikan keteladanan bagi masyarakat
dalam sikap hidup sederhana dengan tidak memamerkan kekayaan yang dimiliki.
3)
Informal
a) Meningkatkan fungsi pendidikan keluarga yang
terkait dengan bahaya korupsi bagi segenap anggota keluarga sejak usia dini.
Hal itu sejalan dengan firman Allah agar kaum muslim menjaga keluarga dari
segala bentuk kejahatan moral dan sosial: qu anfusakum wa ahlikum nara.
b) Para orangtua harus membimbing anak dalam
keluarga agar dibiasakan memiliki rasa bangga dan senang dengan usahanya
sendiri, dan tidak dipacu untuk mendapatkan hasil akhir yang tinggi tanpa usaha
sehingga menggunakan segala jalan termasuk yang tidak halal seperti menipu,
menyontek, menjiplak.
c) Mendorong para orangtua tokoh masyarakat,
politisi, dan pejabat untuk menjadi teladan bagi keluarga, masyarakat, dan
birokrasi negara.
d) Membangun keluarga yang membiasakan budaya
menabung dan hidup secara produktif (tidak konsumtif) melalui pembudayaan
sistem pengaturan keuangan keluarga secara proporsional dan profesional.
b.
Jalur keagamaan
Salah satu cara yang dapat diharapkan bisa memberikan
konstribusi signifikan terhadap upaya pencegahan korupsi di negeri ini adalah
melalui jalur keagamaan, yakni penyadaran mentalitas keagamaannya. Harapan
masyarakat akan pemberantasan korupsi melalui jalur keagamaan ini dapat
dipahami, mengingat para pelaku korupsi adalah orang-orang beragama. Untuk itu,
strategi yang dapat dilakukan melalui jalur ini adalah:
a) Mendorong para tokoh dan lembaga agama untuk
mengeluarkan fatwa atau opini tentang korupsi, serta sanksi moral bagi para
pelaku korupsi.
b) Mendorong setiap pemeluk agama untuk lebih
menghayati ajaran agamanya karena penghayatan agama yang benar akan mencegah
seseorang dari melakukan tindak pidana korupsi maupun kejahatan lainnya.
c) Membersihkan organisasi kemasyarakatan islam
dan institusi-institusi keagamaan (seperti organisasi kemasyarakatan, partai
politik, lembaga penyelenggar haji, yayasan, masjid, dan sebagainya) dari
unsur-unsur dan praktik-praktik korupsi.
d) Mengoptimalkan potensi instistusi masjid yang
cukup banyak bertebaran di Tanah Air sebagai pusat pembinaan umat. Dengan
demikian, amatlah strategis bila upaya pencegahan korupsi juga melibatkan
takmir/jamaah masjid yang hampir dimiliki setiap komunitas umat di indonesia.
e) Proses penyadaran dan pemberdayaan melalui
media pengajian majelis taklim, khutbah jumat, dan momentum hari-hari besar
islam serta metode dakwah lain mengenai bahaya korupsi menjadi sangat
signifikan pada masa mendatang. Pada acara-acara keagamaan tersebut gerakan
antikorupsi harus terus digelorakan agar dapat membangun kesadaran kolektif di
kalangan masyarakat tentang bahaya korupsi bagi kehidupan masyarakat.[5]
B.
Strategi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
1.
Strategi pemberantasan tindak pidana korupsi dalam
perspektif hukum positif
a.
Peran komisi pemberantasan korupsi (KPK)
Adapun wewenang dari KPK dalam rangka
pemberantasan tindak pidana korupsi dinyatakan dalam pasal 7 UU-KPK sebagai
berikut:
a) Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi;
b) Menetapkan sistem pelaporan dan kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi
c) Meminta informasi tentang kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi lain yang terkait;
d) Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
e) Meminta laporan instansi terkait mengenai
pencegahan tindak pidana korupsi.[6]
b.
Peran jaksa agung muda tindak pidana korupsi
Selanjutnya adapun langkah-langkah
pemberantasan korupsi yang dilaksanakan oleh Jaksa Agung Muda tindak pidana
khusus, yang pada intinya menekankan beberapa langkah antara lain:
1)
Percepatan dan penanganan eksekusi tindak pidana korupsi
yang meliputi kegiatan:
a) Menentukan sektor prioritas pemberantasan
korupsi untuk menyelamatkan uang negara dengan indikator yang ingin dicapai:
-
Memperjelas langkah-langkah pemberantasan korupsi.
-
Membuka peluang untuk menyelamatkan kekayaan negara dalam
jumlah besar.
-
Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap keseriusan
dan komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi.
b) Merumuskan dan menetapkan kriteria penentuan
prioritas untuk penanganan kasus-kasus korupsi yang telah ada untuk mempercepat
penanganan dan penyelesaian kasus dengan indikator yang ingin dicapai adalah
meningkatnya jumllah penyelesaian kasus menyangkut lembaga pelayanan publik dengan
jumlah kerugian negara yang besar sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat
pemberantasan korupsi.
c) Mempercepat pembekuan dan pengelolaan
aset-aset negara dengan indikator yang akan dicapai adalah meningkatnya jumlah
pengembalian kekayaan negara dari tangan pelaku korupsi.
d) Melakukan pembatalan dan tinjau ulang terhadap
SP3 terhadap perkara-perkara korupsi yang secara hukum masih dapat diproses
kembali dengan indikator yang akan dicapai adalah meningkatnya kepercayaan
masyarakat terhadap aparat dan lembaga penegak hukum.
2)
Peningkatan kapasitas aparatur penegak hukum yang
meliputi kegiatan:
a) Menyempurnakan sistem manajerial lembaga
penegak hukum dengan indikator yang akan dicapai adalah meningkatnya
transparansi dan akuntabilitas proses penegak hukum.
b) Menyempurnkan dan mengimplementasikan pedoman
pelayanan pengaduan masyarakat dengan indikator yang akan dicapai adalah
tingginya dukungan masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi yang terjadi
di lembaga penegak hukum.
c) Mengimplementasikan standar profesi atau kode
etik dengan indikator yang akan dicapai adalah tercapainya adalah tercapainya
standar kinerja aparat penegak hukum yang lebih terukur dan akuntabel.[7]
c.
Strategi pemberantasan korupsi yang dilakukan SBY
Presiden Susilo Bambang Yudoyono sejak awal
masa pemerintahannya sudah mengambil berbagai langkah yang menunjukkan adanya
keinginan kuat untuk memerangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Presiden
SBY di samping mengaktifkan lembaga-lembaga pemberantas korupsi yang sudah
terbentuk sebelumnya, juga membentuk lembaga-lembaga pemberantas korupsi baru
sebagai wadah dimulainya “Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi”. Presiden
juga sudah cukup banyak memberikan izin kepada pengadilan untuk memeriksa para
pejabat negara yang diduga terlibat tindak pidana korupsi.
Begitu pula lembaga pemberantas korupsi yang
telah dibentuk antara lain tim tastipikor (tim koordinasi pemberantasan tindak
pidana korupsi) dan KPK (komisi pemberantasan korupsi), dua lembaga
pemberantasan korupsi andalan presiden SBY, secara terus-menerus membongkar
kasus-kasus korupsi kelas super kakap. Seperti kasus korupsi dan suap di KPU,
kasus korupsi dana abadi umat (DAU), dan kasus suap di mahkamah agung, namun
pemerintah atau presiden dan wakilnya tetap dinilai belum berhasil memberantas
korupsi sebagaimana diharapkan.[8]
2. Strategi pemberantasan tindak pidana korupsi (al-ghulul)
dalam perspektif hukum islam
Strategi pemberantasan tindak pidana korupsi (al-ghulul)
dengan mendekontruksi budaya atas kebiasaan dan cara pandang dengan cara sebagai
berikut:
a) Memberantas dan mengikis budaya kultus dan
paternalistik yang sudah berlangsung secara turun-temurun, suatu kebiasaan yang
telah menambah kesuburan praktik korupsi. Budaya tersebut telah melahirkan
sikap ewuh pekewuh atau rikuh (sungkan) dalam upaya pemberantasan
korupsi atau penyimpangan lain yang dilakukan oleh orang tertentu yang memiliki
kedudukan terhormat di masyarakat. Bahkan tidak jarang dijumpai orang yang
sudah “tercemari korupsi” pun masih dihormati dan disanjung-sanjung.
b) Memberantas
budaya hadiah yang diberikan kepada orang yang memiliki kewenangan tertentu
dalam kaitannya dengan urusan publik. Sebab dalam praktiknya, makna hadiah
telah mengalami reduksi dan penyimpangan dari konteks yang dimaksud oleh konsep
hadiah itu sendiri. Hadiah semacam itulah yang semakin menyuburkan
praktik korupsi di Indonesia. Misalnya, budaya “amplop” dalam upaya memuluskan
sesuatu yang kita inginkan atau menjanjikan komisi pemberi proyek.
c) Memberantas budaya “komunalisme” dalam
kehidupan masyarakat dalam konteks kebergantungan akan kehidupan kolektif yang
kemudian melahirkan sikap toleran terhadap praktik-praktik korupsi karena hal
itu dipandang merupakan bagian dari “kehidupan komunalnya”. “Komunalisme”
semacam itu menyimpang dan harus dikikis.
d) Budaya instan telah mendorong praktik
penyimpangan dan korupsi karena segala sesuatu ingin diraih dengan serbasingkat
dan tanpa kerja keras. Etos kerjapun telah dikesampingkan karena dipandang
memperlama proses pencapaian sesuatu yang diinginkan. Akibatnya atau prosedur
yang sudah menjadi ketentuan dengan mudah akan dilanggar.
e) Mengikis budaya permisif (bersifat terbuka),
hedonistik, dan materialistik. Perilaku masyarakat yang permisif terhadap
segala bentuk penyimpangan telah mendorong praktik korupsi semakin subur.
Begitu juga kehidupan masyarakat yang hedonistik dan materialistik telah
menghilangkan idealisme dalam menegakkan nilai-nilai kebajikan. Akibatnya
parameter yang digunakan bersandar pada kenikmatan duniawi dan materi sehingga
pelakunya terdorong melakukan penyimpangan atau koruptif agar keinginannya
terpenuhi. Fenomena seperti itu telah menjadi wabah endemik di kalangan
masyarakat.
f) Perlunya membangun budaya kritis dan
akuntabilitas pada masyarakat sehingga tidak memberi ruang bagi lahirnya
praktik korupsi. Orang akan berfikir panjang untuk melakukan korupsi karena
masyarakat akan bersikap kritis dan sekaligus menuntut akuntabilitas terhadap
setiap jabatan/kewenangan yang diembannya.
g) Perlunya pengidentifikasian masalah korupsi
secara menyeluruh disertai informasi yang jelas mengenai dampak korupsi dan
strategi untuk melawan korupsi. Penjelasn konkret bahwa bahwa korupsi
menyebabkan kemiskinan, tiadanya pelayanan publik yang memadai, hancurnya
sumber daya manusia, serta kian merosotnya tingkat kesejahteraan, harus segera
dilakukan sehingga rakyat merasa terdorong untuk bersama-sama melawan korupsi.
h) Masyarakat harus diberi penjelasan
terus-menerus bahwa sebagian dari sikap, kebiasaan, dan perilaku merekan
memiliki kecendrungan kolutif dan koruptif. Selain itu, perlu dilakukan suatu
usaha yang lebih sistematik untuk melawan kecenderungan seperti itu.[9]
C.
Penerapan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Korupsi
1.
Penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi
dalam perspektif hukum positif
Penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana
korupsi (tipikor) yakni berupa pidana penjara dan pidana denda berdasarkan
jenis atau bentuk tindak pidana korupsi yang dilakukan antara lain sebagai
berikut:
1.
Kelompok delik
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2,3 UU No.
31 Tahun 1999).
a.
Pasal 2 UU No.
31 Tahun 1999
1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
2)
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
b.
Pasal 3 UU No.
31 Tahun 1999
Setiap orang
yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).[10]
2.
Kelompok delik
penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang menerima suap) (Pasal
5, 11, 12, 12 B UU No. 20 Tahun 2001).
a.
Pasal 5 UU No.
20 Tahun 2001
1)
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a)
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara
negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya; atau
b)
Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
2)
Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
b.
Pasal 11 UU No.
20 Tahun 2001
Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya.
c.
Pasal 12 UU No.
20 Tahun 2001
Dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus jutarupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah):
a)
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b)
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau
disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya;
c)
Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d)
Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah
atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan,
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e)
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan
menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar,
atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi
dirinya sendiri;
f)
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut
mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan
utang;
g)
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang,
seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal
tersebut bukan merupakan utang;
h)
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak
pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan
orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan
dengan peraturan perundangundangan; atau
i)
Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak
langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau
persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian
ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
d.
Pasal 12 B UU
No. 20 Tahun 2001
1)
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a)
Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi;
b)
Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
2)
Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[11]
3.
Kelompok delik
penggelapan (Pasal 8, 10, UU No. 20 Tahun 2001).
a.
Pasal 8 UU No.
20 Tahun 2001
Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena
jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau
digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
b.
Pasal 10 UU No.
20 Tahun 2001
Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri
atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan
umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
a)
Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau
membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya;
atau
b)
Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut;
atau
c)
Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.[12]
4.
Kelompok delik pemerasan
dalam jabatan (Pasal 12 e dan f UU No. 20 Tahun 2001).
a.
Pasal 12 huruf
e UU No. 20 Tahun 2001
Pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
b.
Pasal 12 huruf
f UU No. 20 Tahun 2001
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang
kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;[13]
5.
Kelompok delik
yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir, dan rekanan (Pasal 7 UU No. 20
Tahun 2001).
a.
Pasal 7 UU No.
20 Tahun 2001
1)
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga
ratus lima puluh juta rupiah):
a)
Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan negara dalam keadaan perang;
b)
Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan
bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam
huruf a;
c)
Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan
perang; atau
d)
Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan
TentaraNasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
2)
Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orangyang
menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).[14]
Adapun sanksi lain yang diterapkan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi (tipikor) yakni sebagai berikut:
1.
Pidana Mati
Dapat dipidana mati kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana ditentukan
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 yang dilakukan dalam keadaan
“tertentu”. Adapun yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah pemberatan
bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada
waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku,
pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana
korupsi, atau pada saat negara dalam keadaan krisis ekonomi (moneter).[15]
2.
Pidana Tambahan
a) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau
yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di
mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan
barang-barang tersebut.
b) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c) Penuntutan seluruh atau sebagian perusahaan
untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
d) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak
tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah
atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
e) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti
paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa
dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
f) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta
benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana
penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya
sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 dan lamanya pidana tersebut
sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.[16]
a.
Penerapan sanksi terhadap peaku tindak pidana korupsi (al-ghulul)
dalam perspektif hukum Islam
Adapun penerapan sanksi terhadap pelaku tindak
pidana korupsi dalam perspektif hukum Islam adalah sebagai berikut:
Korupsi merupakan kejahatan yang mempunyai
modus operandi beragam dan terus berkembang serta menimbulkan kerusakan yang bersifat
massif. Pada dasarnya hukum islam memberi ganjaran di dunia maupun di akhirat
berkenaan dengan korupsi. Ada beberapa jenis sanksi yang bisa diberikan pada
pelaku kejahatan korupsi sesuai dengan besaran korupsi, dampak yang ditimbulkan
dan frekuensi tindakan tersebut.[17]
Dibawah ini ada beberapa jenis sanksi yang
bisa diterapkan bagi pelaku tindak pidana korupsi yakni sebagai berikut:
1) Sanksi di Dunia
Adapun beberapa bentuk sanksi hukum yang bisa
diberikan adalah sebagai berikut:
a) Sanksi hukum nonfisik
1. Pemecatan
2. Denda
3. Penyitaan
b) Sanksi hukum fisik
1. Dibunuh dan disalib seperti qat’u al-thariq
yang merampok harta dan mengakibatkan kematian. Misalnya, korupsi dana
penanggulangan bencana.
2. Diusir dan diasingkan atau dipenjara
sebagaimana hirabah dan qat’u al-thariq dalam kondisi dikhawatirkan
mengancam kehidupan atau keselamatan orang lain. Misalnya, korupsi dana
reboisasi yang dapat mengancam keselamatan orang lain dengan timbulnya banjir.[18]
2) Sanksi Sosial
Masyarakat Indonesia secara umum sangat
permisif (bersifat terbuka) terhadap korupsi. Hal itu antara lain ditunjukkan
dengan sikap tetap bangga bergaya hidup mewah, meskipun dibiayai dengan harta
hasil korupsi; tidak hilangnya rasa hormat masyarakat terhadap seseorang yang
mempunyai indikasi kuat melakukan korupsi; dan terbukanya lembaga-lembaga islam
terhadap sumbangan hasil korupsi.
Berikut adalah beberapa sanksi sosial yang
bisa diterapkan pada pelaku tindak kejahatan korupsi:
a. Dikucilkan karena memakan harta korupsi yang
sama saja dengan memakan barang haram (al-shut). Hal ini dijelaskan
dalam Q.S. Al-ma’idah/5: 42 sebagai berikut:
cqã軣Jy É>És3ù=Ï9 tbqè=»2r& ÏMós¡=Ï9 4 bÎ*sù x8râä!$y_ Nä3÷n$$sù öNæhuZ÷t/ ÷rr& óÚÍôãr& öNåk÷]tã ( bÎ)ur óÚÌ÷èè? óOßg÷Ytã `n=sù x8rÛØo $\«øx© ( ÷bÎ)ur |MôJs3ym Nä3÷n$$sù NæhuZ÷t/ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÍËÈ
Terjemahnya:
Mereka itu adalah orang-orang yang suka
mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi)
datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu)
diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka
maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu
memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan
adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.[19]
Termasuk bagian dari pengucilan itu adalah
tidak memilih pelaku koruptor sebagai pemimpin formal, baik sebagai wakil
rakyat (anggota DPR, DPD, dan DPRD) dan pejabat, dan tidak mengakuinya sebagai
pemimpin nonformal (pemuka masyarakat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama).
b. Tidak diterima kesaksiannya, seperti kesaksian
dalam pembuktian hukum di pengadilan, kesaksiannya dalam itsbat (penetapan)
awal ramadhan/syawal, dan lain-lain. Kesaksian seorang pengkhianat tidak
diterima, sementara pelaku korupsi adalah orang yang telah berkhianat. Termasuk
bagian dari penolakan pelaku korupsi sebagai saksi adalah menolaknya sebagai
saksi persengketaan di luar maupun di dalam pengadilan, saksi pernikahan, dan saksi
lainnya.[20]
3) Sanksi Moral
Melihat dampak yang sangat serius, maka sanksi
moral juga menjadi sangat penting untuk diterapkan pada pelaku korupsi. Tujuan
sanksi moral adalah agar kalangan Muslim sebagai masyarakat beragama, terutama
tokoh-tokoh agamanya, terus-menerus mangingatkan bahwa korupsi adalah perbuatan
yang sangat bertentangan dengan moral agama sehingga masyarakat tidak lagi
permisif (bersifat terbuka) terhadap tindak kejahatan korupsi.
Berikut ini adalah beberapa sanksi moral yang
bisa diterapkan pada pelaku tindak pidana korupsi:
a. Jenasahnya tidak dishalati oleh para pemuka
agama.
b. Koruptor adalah orang tercela dan celaka
karena mereka berbuat curang.
c. Koruptor dilaknat Allah karena koruptor telah
melakukan kejahatan yang lebih besar daripada riswah.
4) Sanksi di Akhirat
Sebagaimana sebuah kebajikan mempunyai balasan
di akhirat, Islam menegaskan bahwa kejahatan juga mempunyai sanksi diakhirat,
disamping sanksi di dunia. Keyakinan atas adanya sanksi di akhirat itu
diharapkan dapat mencegah masyarakat Muslim dari korupsi. Beberapa sanksi di
akhirat bagi pelaku tindak kejahatan korupsi adalah sebagai berikut:
a. Korupsi dapat menghalangi pelakunya masuk
surga karena harta hasil korupsi termasuk al-shut.
b. Tidak hanya mencegah masuk surga, korupsi juga
dapat menyebabkan pelakunya masuk neraka.
c. Harta hasil korupsi akan membebaninya pada
Hari Kiamat karena korupsi juga merupakan ghulul.[21]
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah menguraikan dari bab ke bab, maka
dapat disimpulkan pada setiap pembahasan agar lebih muda dipahami, yakni
sebagai berikut:
1. Secara yuridis formal tindak pidana korupsi
diatur dalam berbagai perundang-undangan khususnya dalam UU No. 31 Tahun 1999
dan UU No. 20 Tahun 2001,sedangkan dalam
perspektif hukum Islam disebut dalam berbagai berbagai istilah dalam Al-qur’an
dan pendapat para ulama. Korupsi dalam perspektif hukum Islam yang dikemukakan
oleh para alim ulama dimaknai sebagai suatu bentuk perbuatan syirik karena
tidak lagi meyakini Allah sebagai tuhannya dan menjadikan uang sebagai sumber
kekuatan (the power of money). Selain itu, korupsi (al-ghulul) juga
dapat berarti mengambil harta dari ghanimah (rampasan perang) karena
takut tidak mendapat bagian setelah ghanimah itu dibagikan. Secara
kriminologi tindak pidana korupsi tidak akan pernah hilang, namun dapat
diminimalisir dengan pemberian pendidikan agama, pendidikan moral, serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. Konsep penerapan sanksi tindak pidana korupsi dalam
perspektif hukum positif yakni dengan memberikan sanksi berupa pidana penjara, pidana
denda dan penerapan pidana mati yang diterapkan pada kondisi tertentu seperti
pada saat Negara dalam keadaan krisis. Sedangkan penerapan sanksi terhadap
pelaku tindak pidana korupsi dalam perspektif hukum Islam terdapat beberapa jenis
sanksi yang bisa diterapkan yakni berupa sanksi di dunia, sanksi sosial, sanksi
moral dan sanksi di akhirat.
3. Strategi pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi, yakni dengan upaya prefentif atau pencegahan dengan pengawasan oleh
aparat penegak hukum. Selanjutnya, yakni dengan menetapkan rencana aksi
nasional pemberantasan korupsi (RAN-PK) 2004-2009. Selain itu, lembaga yang
berwenang dalam hal ini KPK dan juga Jaksa Agung turut andil dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi. Sedangkan pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi dalam perspektif
hukum Islam yakni dilakukan melalui jalur pendidikan dan jalur
keagamaan.
B.
Implikasi Penelitian
Al-hamdulillah penulis berharap dengan
selesainya skripsi ini sebagai sebuah karya tulis ilmiah dapat menjadi salah
satu bagian yang turut memberikan sumbangsi pemikiran khususnya terkait dengan
persoalan tindak pidana korupsi baik dalam perspektif hukum positif maupun
dalam perspektif hukum Islam. Penulis juga berharap skripsi ini tidak hanya
sekedar memberikan sumbangsi pemikiran, akan tetapi juga dapat dijadikan
sebagai referensi dalam meningkatkan pemahaman kita khususnya terkait dengan
persoalan tindak pidana korupsi.
Akhirnya penulis berharap semoga Skripsi ini
dapat memberi manfaat kepada seluruh kalangan baik dari kalangan atas maupun
dari kalangan bawah serta dapat bernilai
ibadah yang menjadi wasilah bagi penulis untuk mendapat limpahan kasih
sayang-Nya sekaligus Ridha-Nya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Dinar, Syaiful, Syarif
Fadillah dan Chaeruddin. Strategi
Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. Cet.2; Bandung: PT
Refika Aditama, 2009.
Ann Elliot,
Kimberly. Corruption and The Global
Economy. Cet. I; Jakarta: Terjemahan
Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Andi Hamzah,
Jur. Perbandingan Pemberantasan Korupsi
di berbagai Negara. Cet. I;
Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Alim katu, Mas. Korupsi
Malu Ah. Cet.1; Makasssar: Pustaka Refleksi, 2007.
Abdurrahman
dan Soejono. Metode Penelitian Hukum. Cet.
2; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan
Terjemahnya. Bandung: CV PENERBIT J-ART, 2007.
Gassing, Qadir dan Wahyuddin Halim. Pedoman Penulisan Karya Tulis
Ilmiah: Makalah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Cet. II; Makassar: Alauddin
Press, 2009.
Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Hasan, Cik. Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penyusunan Skripsi. Cet. 2;
Jakarta: Logos, 1998.
Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi. Cet.3; Jakarta: Sinar Grafika,
2009.
Kaufmann, Daniel. Governance and Corruption: New Empirical
Frontiers for Program Design, 1988.
KUHAP dan KUHP.
Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Komisi Pemberantasan Korupsi. Memahami Untuk Membasmi: Buku Saku untuk
Memahami Tindak Pidana Korupsi. Cet. 2; Jakarta: KPK, 2006.
McWALTERS, IAN.
Memerangi Korupsi: Sebuah Peta Jalan
Untuk Indonesia. Cet.I; Surabaya: PT. Temprina Media Grafika, 2006.
Marfaung,
Leden. Tindak Pidana Korupsi Masalah dan Pemecahannya. Cet. I; Jakarta: Sinar
Grafika, 1992.
M. Tuanakotta,
Theodorus. Menghitung Kerugian Keuangan
Negara dalam Tindak Pidana Korupsi. Cet. I; Jakarta: Salemba Empat, 2009.
Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Cet. 6; Yogyakarta: Gaja Mada Universitas Press, 1995.
Pope, Jeremy. Confronting
Corruption: The Elements Of National Integrity System. Jakarta: Terjemahan Yayasan Obor Indonesia, 2003.
Salam, A.S. Pengantar Kriminologi. Cet. 1; Makassar: Pustaka
Refleksi, 2010.
Soejono dan
Abdurrahman. Metode Penelitian Hukum. Cet. 2; Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.
Soedarso,
Boesono. Latar Belakang Sejarah dan
Kultural Korupsi di Indonesia. Cet.I; Jakarta: UI-Press, 2009.
Suteja, Hardiansyah.
Telaah
Fiqih Dalam Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama:
Koruptor Itu Kafir. Cet. 1; Jakarta Selatan: Mizan, 2010.
Santoso, Topo
dan Eva Achjani Zulfa. Kriminologi.
Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001.
Tompo, Rusdin
dan Ilyas Joseph. Ayo Lawan Korupsi.
Cet. I; Makassar: LBH-P2i, 2005.
UU No 20 Tahun 2001. Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Jakarta, 2001.
UU No. 31 Tahun 1999. Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Jakarta, 1999.
Wiyono, R. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan
Korupsi. Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Soesilo. R. Pokok-Pokok Hukum Pidana
Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus. Bandung: PT. Karya Nusantara,
1979.
[1] Chaeruddin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif
Fadillah, Strategi
Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi (Cet.II; Bandung: PT
Refika Aditama, 2009), h. 13.
[2] Jur Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi
Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional (Cet. II; Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006), h. 247-248.
[3] Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung
Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi (Cet. I; Jakarta: Salemba Empat, 2009), h. 44.
[4] Hardiansyah
Suteja, Telaah Fiqih Dalam
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama: Koruptor Itu Kafir (Cet. I; Jakarta
Selatan: Mizan, 2010), h. 53-54.
[9] Hardiansyah Suteja, op. cit., h. 50-52.
[10] Lihat UU No. 31 Tahun 1999, Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Jakarta, 1999), h. 3.
[11] Lihat UU No 20 Tahun 2001, Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Jakarta, 2001), h. 3,5-7.
[13] Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami
untuk Membasmi: Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi (Jakarta:
KPK, 2006), h. 69,73.
[14] Lihat UU No 20 Tahun 2001, op.cit.,
h. 4.
[17] Hardiansyah Suteja, op. cit., h. 134.
[18] Hardiansyah Suteja, op. cit., h. 135.
[19] Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya (Bandung: CV PENERBIT J-ART, 2007), h. 114.
[20] Hardiansyah Suteja, op. cit., h. 136.
[21] Hardiansyah Suteja, op. cit., h. 137-140.
Langganan:
Postingan (Atom)