BAB IV
STRATEGI PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI SERTA PENERAPAN SANKSINYA
A.
Strategi
Pencegahan Terjadinya Tindak Pidana Korupsi
1.
Strategi Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dalam
Perspektif Hukum Positif Berdasarkan Kebijakan pemerintah dalam pencegahan
korupsi.
Korupsi yang marak terjadi di berbagai
kegiatan-kegiatan pemerintah berhubungan dengan penatalaksanaan (pengelolaan)
berupa penerimaan dan pembelanjaan uang negara. Faktor penyebabnya antara lain
dikarenakan sistem penerimaan dan pengelolaan keuangan negara yang kurang
transparan dan akuntabel. Sektor-sektor yang rawan korupsi hampir dijumpai di
semua lini, di sektor penerimaan negara, seperti perbankan, perpajakan,
penerimaan bea cukai, disektor pengeluaran negara seperti pendidikan,
kesehatan, pekerjaan umum, perhubungan, dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan itu, maka pemerintah dalam
pemberantasan korupsi mengeluarkan kebijakan salah satunya adalah menetapkan
rencana aksi nasioanal pemberantasan korupsi (RAN-PK) 2004-2009, mengingat
penanganan korupsi memerlukan pendekatan penanganan secara sistematis, yaitu
melalui langkah-langkah pencegahan. Langkah-langkah pencegahan dalam RAN-PK
2004-2009 diproritaskan pada:
1) Mendesain ulang pelayanan publik, terutama
pada bidang-bidang yang berhubungan langung dengan kegiatan pelayanan kepada
masyarakat sehari-hari.
2) Memperkuat transparansi, pengawasan, dan
sanksi pada kegiatan-kegiatan pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi dan
sumber daya manusia.
3) Meningkatkan pemberdayaan perangkat-perangkat
pendukung dalam pencegahan korupsi.[1]
Selanjutnya salah satu strategi pencegahan
tindak pidana korupsi (tipikor) antara lain sebgai berikut:
a. Menaikkan gaji pegawai rendah dan menengah
b. Menaikkan moral pegawai
c. Legalisasi pungutan liar menjadi pendapatan
resmi atau legal
d. Kalangan elite kekuasaan harus memberi
keteladanan bagi yang di bawah
Selain itu, untuk mencegah terjadinya korupsi
besar-besaran bagi pejabat yang menduduki jabatan yang rawan korupsi seperti
bidang pelayanan masyarakat, pendapatan negara, penegak hukum, dan pembuat
kebijaksanaan harus di daftar kekayaannya sebelum menjabat jabatannya sehingga
mudah diperiksa pertambahan kekayaannya dibandingkan dengan pendapatannya yang
resmi.[2]
Adapun kewenangan KPK dalam mencegah
terjadinya tindak pidana korupsi (tipikor) adalah sebagai berikut:
1) Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap
laporan harta kekayaan penyelenggara negara;
2) Menerima laporan dan menetapkan status
gratifikasi;
3) Menyelenggarakan program pendidikan
antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;
4) Merancang dan mendorong terlaksananya program
sosialisasi pemberantasasan tindak pidana korupsi;
5) Melakukan kampanye antikorupsi kepada
masyarakat umum;
6) Melakukan kerja sama bilateral atau
multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi;[3]
2.
Strategi pencegahan tindak pidana korupsi (al-ghulul)
dalam perspektif hukum Islam
Praktik korupsi di Indonesia begitu marak
subur. Meski pahit, harus diakui bahwa budaya masyarakat ikut memberikan
sumbangan besar akan hal tersebut lantaran masyarakat menganggap korupsi
sebagai bagian dari kebiasaan kultral, akhirnya masyarakat bersikap permisif,
dan bahkan dalam banyak hal menganggap praktik korupsi itu lumrah terjadi.
Sehubungan dengan itu, diperlukan upaya untuk
mencegah terjadinya tindak pidana korupsi, baik melalui jalur pendidikan maupun
melalui jalur agama:
a.
Jalur pendidikan dapat dilakukan melalui jalur formal,
nonformal, dan informal sebagai berikut:
1)
Formal
a) Merumuskan dan meyosialisasikan pelajaran/mata
kuliah civic eeducation di berbagai lembaga pendidikan, sebagai upaya
penyadaran bagi peserta didik atau mahasiswa yang kelak dapat melahirkan warga
negara yang memiliki komitmen akan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan
kebenaran.
b) Perlunya pengajaran dan penyisipan materi/mata
pelajaran “kurikulum antikorupsi” secara menyeluruh di sekolah-sekolah. Hal itu
dilakukan agar kesadaran “antikorupsi” sang anak didik dapat ditumbuhkan mulai
dari dunia pendidikan. Sejak di bangku TK sampai perguruan tinggi anak
dibiasakan jujur, tidak menipu, tidak mengambil yang bukan haknya.
c) Melakukan reformasi silabus pendidikan
keagamaan dari yang lebih menekankan kesalehan individual menuju kesalehan
sosial, dengan melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan secara lebih
kontekstual, terutama yang terkait dengan isu korupsi.
d) Mendorong akademisi untuk terus melakukan
berbagai penelitian (kualitatif maupun kuantitatif) tentang korupsi maupun yang
terkait dengan budaya dan sosiologi korupsi.
e) Membersihkan lembaga-lembaga pendidikan dari
praktik-praktik korupsi, seperti pungutan berlebihan kepada orang tua murid
dengan dalih sumbangan gedung, seragam sekolah, uang olah raga, praktikum, dan
sebagainya, yang banyak terjadi di lembaga pendidikan negeri maupun swasta.
f) Segera merealisaikan anggaran pendidikan 20%
seseuai dengan ketentuan yang diamanatkan undang-undang sehingga peluang untuk
memperoleh akses pendidikan yang berkualitas dapat merata bagi seluruh lapisan
masyarakat yang berakibat pada meningkatnya kualitas sumber daya manusia
Indonesia.[4]
2)
Nonformal
a) Mengadakan pelatihan-pelatihan dan pemantauan
antikorupsi sehingga dapat membangkitkan kesadaran secara luas pada kalangan
terdidik untuk bersama-sama memerangi korupsi.
b) Melakukan pendidikan dan penyadaran bagi segenap
warga masyarakat tentang bahaya korupsi melalui lembaga pengajian dan
pengkajian agama maupun upacara keagamaan.
c) Para pejabat, tokoh masyarkat, pemimpin
informal, serta para hartawan hendaknya memberikan keteladanan bagi masyarakat
dalam sikap hidup sederhana dengan tidak memamerkan kekayaan yang dimiliki.
3)
Informal
a) Meningkatkan fungsi pendidikan keluarga yang
terkait dengan bahaya korupsi bagi segenap anggota keluarga sejak usia dini.
Hal itu sejalan dengan firman Allah agar kaum muslim menjaga keluarga dari
segala bentuk kejahatan moral dan sosial: qu anfusakum wa ahlikum nara.
b) Para orangtua harus membimbing anak dalam
keluarga agar dibiasakan memiliki rasa bangga dan senang dengan usahanya
sendiri, dan tidak dipacu untuk mendapatkan hasil akhir yang tinggi tanpa usaha
sehingga menggunakan segala jalan termasuk yang tidak halal seperti menipu,
menyontek, menjiplak.
c) Mendorong para orangtua tokoh masyarakat,
politisi, dan pejabat untuk menjadi teladan bagi keluarga, masyarakat, dan
birokrasi negara.
d) Membangun keluarga yang membiasakan budaya
menabung dan hidup secara produktif (tidak konsumtif) melalui pembudayaan
sistem pengaturan keuangan keluarga secara proporsional dan profesional.
b.
Jalur keagamaan
Salah satu cara yang dapat diharapkan bisa memberikan
konstribusi signifikan terhadap upaya pencegahan korupsi di negeri ini adalah
melalui jalur keagamaan, yakni penyadaran mentalitas keagamaannya. Harapan
masyarakat akan pemberantasan korupsi melalui jalur keagamaan ini dapat
dipahami, mengingat para pelaku korupsi adalah orang-orang beragama. Untuk itu,
strategi yang dapat dilakukan melalui jalur ini adalah:
a) Mendorong para tokoh dan lembaga agama untuk
mengeluarkan fatwa atau opini tentang korupsi, serta sanksi moral bagi para
pelaku korupsi.
b) Mendorong setiap pemeluk agama untuk lebih
menghayati ajaran agamanya karena penghayatan agama yang benar akan mencegah
seseorang dari melakukan tindak pidana korupsi maupun kejahatan lainnya.
c) Membersihkan organisasi kemasyarakatan islam
dan institusi-institusi keagamaan (seperti organisasi kemasyarakatan, partai
politik, lembaga penyelenggar haji, yayasan, masjid, dan sebagainya) dari
unsur-unsur dan praktik-praktik korupsi.
d) Mengoptimalkan potensi instistusi masjid yang
cukup banyak bertebaran di Tanah Air sebagai pusat pembinaan umat. Dengan
demikian, amatlah strategis bila upaya pencegahan korupsi juga melibatkan
takmir/jamaah masjid yang hampir dimiliki setiap komunitas umat di indonesia.
e) Proses penyadaran dan pemberdayaan melalui
media pengajian majelis taklim, khutbah jumat, dan momentum hari-hari besar
islam serta metode dakwah lain mengenai bahaya korupsi menjadi sangat
signifikan pada masa mendatang. Pada acara-acara keagamaan tersebut gerakan
antikorupsi harus terus digelorakan agar dapat membangun kesadaran kolektif di
kalangan masyarakat tentang bahaya korupsi bagi kehidupan masyarakat.[5]
B.
Strategi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
1.
Strategi pemberantasan tindak pidana korupsi dalam
perspektif hukum positif
a.
Peran komisi pemberantasan korupsi (KPK)
Adapun wewenang dari KPK dalam rangka
pemberantasan tindak pidana korupsi dinyatakan dalam pasal 7 UU-KPK sebagai
berikut:
a) Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi;
b) Menetapkan sistem pelaporan dan kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi
c) Meminta informasi tentang kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi lain yang terkait;
d) Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan
dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
e) Meminta laporan instansi terkait mengenai
pencegahan tindak pidana korupsi.[6]
b.
Peran jaksa agung muda tindak pidana korupsi
Selanjutnya adapun langkah-langkah
pemberantasan korupsi yang dilaksanakan oleh Jaksa Agung Muda tindak pidana
khusus, yang pada intinya menekankan beberapa langkah antara lain:
1)
Percepatan dan penanganan eksekusi tindak pidana korupsi
yang meliputi kegiatan:
a) Menentukan sektor prioritas pemberantasan
korupsi untuk menyelamatkan uang negara dengan indikator yang ingin dicapai:
-
Memperjelas langkah-langkah pemberantasan korupsi.
-
Membuka peluang untuk menyelamatkan kekayaan negara dalam
jumlah besar.
-
Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap keseriusan
dan komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi.
b) Merumuskan dan menetapkan kriteria penentuan
prioritas untuk penanganan kasus-kasus korupsi yang telah ada untuk mempercepat
penanganan dan penyelesaian kasus dengan indikator yang ingin dicapai adalah
meningkatnya jumllah penyelesaian kasus menyangkut lembaga pelayanan publik dengan
jumlah kerugian negara yang besar sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat
pemberantasan korupsi.
c) Mempercepat pembekuan dan pengelolaan
aset-aset negara dengan indikator yang akan dicapai adalah meningkatnya jumlah
pengembalian kekayaan negara dari tangan pelaku korupsi.
d) Melakukan pembatalan dan tinjau ulang terhadap
SP3 terhadap perkara-perkara korupsi yang secara hukum masih dapat diproses
kembali dengan indikator yang akan dicapai adalah meningkatnya kepercayaan
masyarakat terhadap aparat dan lembaga penegak hukum.
2)
Peningkatan kapasitas aparatur penegak hukum yang
meliputi kegiatan:
a) Menyempurnakan sistem manajerial lembaga
penegak hukum dengan indikator yang akan dicapai adalah meningkatnya
transparansi dan akuntabilitas proses penegak hukum.
b) Menyempurnkan dan mengimplementasikan pedoman
pelayanan pengaduan masyarakat dengan indikator yang akan dicapai adalah
tingginya dukungan masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi yang terjadi
di lembaga penegak hukum.
c) Mengimplementasikan standar profesi atau kode
etik dengan indikator yang akan dicapai adalah tercapainya adalah tercapainya
standar kinerja aparat penegak hukum yang lebih terukur dan akuntabel.[7]
c.
Strategi pemberantasan korupsi yang dilakukan SBY
Presiden Susilo Bambang Yudoyono sejak awal
masa pemerintahannya sudah mengambil berbagai langkah yang menunjukkan adanya
keinginan kuat untuk memerangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Presiden
SBY di samping mengaktifkan lembaga-lembaga pemberantas korupsi yang sudah
terbentuk sebelumnya, juga membentuk lembaga-lembaga pemberantas korupsi baru
sebagai wadah dimulainya “Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi”. Presiden
juga sudah cukup banyak memberikan izin kepada pengadilan untuk memeriksa para
pejabat negara yang diduga terlibat tindak pidana korupsi.
Begitu pula lembaga pemberantas korupsi yang
telah dibentuk antara lain tim tastipikor (tim koordinasi pemberantasan tindak
pidana korupsi) dan KPK (komisi pemberantasan korupsi), dua lembaga
pemberantasan korupsi andalan presiden SBY, secara terus-menerus membongkar
kasus-kasus korupsi kelas super kakap. Seperti kasus korupsi dan suap di KPU,
kasus korupsi dana abadi umat (DAU), dan kasus suap di mahkamah agung, namun
pemerintah atau presiden dan wakilnya tetap dinilai belum berhasil memberantas
korupsi sebagaimana diharapkan.[8]
2. Strategi pemberantasan tindak pidana korupsi (al-ghulul)
dalam perspektif hukum islam
Strategi pemberantasan tindak pidana korupsi (al-ghulul)
dengan mendekontruksi budaya atas kebiasaan dan cara pandang dengan cara sebagai
berikut:
a) Memberantas dan mengikis budaya kultus dan
paternalistik yang sudah berlangsung secara turun-temurun, suatu kebiasaan yang
telah menambah kesuburan praktik korupsi. Budaya tersebut telah melahirkan
sikap ewuh pekewuh atau rikuh (sungkan) dalam upaya pemberantasan
korupsi atau penyimpangan lain yang dilakukan oleh orang tertentu yang memiliki
kedudukan terhormat di masyarakat. Bahkan tidak jarang dijumpai orang yang
sudah “tercemari korupsi” pun masih dihormati dan disanjung-sanjung.
b) Memberantas
budaya hadiah yang diberikan kepada orang yang memiliki kewenangan tertentu
dalam kaitannya dengan urusan publik. Sebab dalam praktiknya, makna hadiah
telah mengalami reduksi dan penyimpangan dari konteks yang dimaksud oleh konsep
hadiah itu sendiri. Hadiah semacam itulah yang semakin menyuburkan
praktik korupsi di Indonesia. Misalnya, budaya “amplop” dalam upaya memuluskan
sesuatu yang kita inginkan atau menjanjikan komisi pemberi proyek.
c) Memberantas budaya “komunalisme” dalam
kehidupan masyarakat dalam konteks kebergantungan akan kehidupan kolektif yang
kemudian melahirkan sikap toleran terhadap praktik-praktik korupsi karena hal
itu dipandang merupakan bagian dari “kehidupan komunalnya”. “Komunalisme”
semacam itu menyimpang dan harus dikikis.
d) Budaya instan telah mendorong praktik
penyimpangan dan korupsi karena segala sesuatu ingin diraih dengan serbasingkat
dan tanpa kerja keras. Etos kerjapun telah dikesampingkan karena dipandang
memperlama proses pencapaian sesuatu yang diinginkan. Akibatnya atau prosedur
yang sudah menjadi ketentuan dengan mudah akan dilanggar.
e) Mengikis budaya permisif (bersifat terbuka),
hedonistik, dan materialistik. Perilaku masyarakat yang permisif terhadap
segala bentuk penyimpangan telah mendorong praktik korupsi semakin subur.
Begitu juga kehidupan masyarakat yang hedonistik dan materialistik telah
menghilangkan idealisme dalam menegakkan nilai-nilai kebajikan. Akibatnya
parameter yang digunakan bersandar pada kenikmatan duniawi dan materi sehingga
pelakunya terdorong melakukan penyimpangan atau koruptif agar keinginannya
terpenuhi. Fenomena seperti itu telah menjadi wabah endemik di kalangan
masyarakat.
f) Perlunya membangun budaya kritis dan
akuntabilitas pada masyarakat sehingga tidak memberi ruang bagi lahirnya
praktik korupsi. Orang akan berfikir panjang untuk melakukan korupsi karena
masyarakat akan bersikap kritis dan sekaligus menuntut akuntabilitas terhadap
setiap jabatan/kewenangan yang diembannya.
g) Perlunya pengidentifikasian masalah korupsi
secara menyeluruh disertai informasi yang jelas mengenai dampak korupsi dan
strategi untuk melawan korupsi. Penjelasn konkret bahwa bahwa korupsi
menyebabkan kemiskinan, tiadanya pelayanan publik yang memadai, hancurnya
sumber daya manusia, serta kian merosotnya tingkat kesejahteraan, harus segera
dilakukan sehingga rakyat merasa terdorong untuk bersama-sama melawan korupsi.
h) Masyarakat harus diberi penjelasan
terus-menerus bahwa sebagian dari sikap, kebiasaan, dan perilaku merekan
memiliki kecendrungan kolutif dan koruptif. Selain itu, perlu dilakukan suatu
usaha yang lebih sistematik untuk melawan kecenderungan seperti itu.[9]
C.
Penerapan Sanksi Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Korupsi
1.
Penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi
dalam perspektif hukum positif
Penerapan sanksi terhadap pelaku tindak pidana
korupsi (tipikor) yakni berupa pidana penjara dan pidana denda berdasarkan
jenis atau bentuk tindak pidana korupsi yang dilakukan antara lain sebagai
berikut:
1.
Kelompok delik
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2,3 UU No.
31 Tahun 1999).
a.
Pasal 2 UU No.
31 Tahun 1999
1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
2)
Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
b.
Pasal 3 UU No.
31 Tahun 1999
Setiap orang
yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).[10]
2.
Kelompok delik
penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang menerima suap) (Pasal
5, 11, 12, 12 B UU No. 20 Tahun 2001).
a.
Pasal 5 UU No.
20 Tahun 2001
1)
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a)
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara
negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya; atau
b)
Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban,
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
2)
Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
b.
Pasal 11 UU No.
20 Tahun 2001
Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya.
c.
Pasal 12 UU No.
20 Tahun 2001
Dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus jutarupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah):
a)
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b)
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau
disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya;
c)
Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d)
Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah
atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan,
berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e)
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan
menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar,
atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi
dirinya sendiri;
f)
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut
mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan
utang;
g)
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang,
seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal
tersebut bukan merupakan utang;
h)
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak
pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan
orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan
dengan peraturan perundangundangan; atau
i)
Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak
langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau
persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian
ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
d.
Pasal 12 B UU
No. 20 Tahun 2001
1)
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a)
Yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi;
b)
Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
2)
Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[11]
3.
Kelompok delik
penggelapan (Pasal 8, 10, UU No. 20 Tahun 2001).
a.
Pasal 8 UU No.
20 Tahun 2001
Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena
jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau
digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
b.
Pasal 10 UU No.
20 Tahun 2001
Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri
atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan
umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
a)
Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau
membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya;
atau
b)
Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut;
atau
c)
Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.[12]
4.
Kelompok delik pemerasan
dalam jabatan (Pasal 12 e dan f UU No. 20 Tahun 2001).
a.
Pasal 12 huruf
e UU No. 20 Tahun 2001
Pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
b.
Pasal 12 huruf
f UU No. 20 Tahun 2001
Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas,
meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang
kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;[13]
5.
Kelompok delik
yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir, dan rekanan (Pasal 7 UU No. 20
Tahun 2001).
a.
Pasal 7 UU No.
20 Tahun 2001
1)
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga
ratus lima puluh juta rupiah):
a)
Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan negara dalam keadaan perang;
b)
Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan
bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam
huruf a;
c)
Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan
perang; atau
d)
Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan
TentaraNasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan
sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
2)
Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orangyang
menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).[14]
Adapun sanksi lain yang diterapkan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi (tipikor) yakni sebagai berikut:
1.
Pidana Mati
Dapat dipidana mati kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana ditentukan
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 yang dilakukan dalam keadaan
“tertentu”. Adapun yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah pemberatan
bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada
waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku,
pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana
korupsi, atau pada saat negara dalam keadaan krisis ekonomi (moneter).[15]
2.
Pidana Tambahan
a) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau
yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di
mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan
barang-barang tersebut.
b) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya
sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c) Penuntutan seluruh atau sebagian perusahaan
untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
d) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak
tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah
atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
e) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti
paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa
dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
f) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta
benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana
penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya
sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 dan lamanya pidana tersebut
sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.[16]
a.
Penerapan sanksi terhadap peaku tindak pidana korupsi (al-ghulul)
dalam perspektif hukum Islam
Adapun penerapan sanksi terhadap pelaku tindak
pidana korupsi dalam perspektif hukum Islam adalah sebagai berikut:
Korupsi merupakan kejahatan yang mempunyai
modus operandi beragam dan terus berkembang serta menimbulkan kerusakan yang bersifat
massif. Pada dasarnya hukum islam memberi ganjaran di dunia maupun di akhirat
berkenaan dengan korupsi. Ada beberapa jenis sanksi yang bisa diberikan pada
pelaku kejahatan korupsi sesuai dengan besaran korupsi, dampak yang ditimbulkan
dan frekuensi tindakan tersebut.[17]
Dibawah ini ada beberapa jenis sanksi yang
bisa diterapkan bagi pelaku tindak pidana korupsi yakni sebagai berikut:
1) Sanksi di Dunia
Adapun beberapa bentuk sanksi hukum yang bisa
diberikan adalah sebagai berikut:
a) Sanksi hukum nonfisik
1. Pemecatan
2. Denda
3. Penyitaan
b) Sanksi hukum fisik
1. Dibunuh dan disalib seperti qat’u al-thariq
yang merampok harta dan mengakibatkan kematian. Misalnya, korupsi dana
penanggulangan bencana.
2. Diusir dan diasingkan atau dipenjara
sebagaimana hirabah dan qat’u al-thariq dalam kondisi dikhawatirkan
mengancam kehidupan atau keselamatan orang lain. Misalnya, korupsi dana
reboisasi yang dapat mengancam keselamatan orang lain dengan timbulnya banjir.[18]
2) Sanksi Sosial
Masyarakat Indonesia secara umum sangat
permisif (bersifat terbuka) terhadap korupsi. Hal itu antara lain ditunjukkan
dengan sikap tetap bangga bergaya hidup mewah, meskipun dibiayai dengan harta
hasil korupsi; tidak hilangnya rasa hormat masyarakat terhadap seseorang yang
mempunyai indikasi kuat melakukan korupsi; dan terbukanya lembaga-lembaga islam
terhadap sumbangan hasil korupsi.
Berikut adalah beberapa sanksi sosial yang
bisa diterapkan pada pelaku tindak kejahatan korupsi:
a. Dikucilkan karena memakan harta korupsi yang
sama saja dengan memakan barang haram (al-shut). Hal ini dijelaskan
dalam Q.S. Al-ma’idah/5: 42 sebagai berikut:
cqã軣Jy É>És3ù=Ï9 tbqè=»2r& ÏMós¡=Ï9 4 bÎ*sù x8râä!$y_ Nä3÷n$$sù öNæhuZ÷t/ ÷rr& óÚÍôãr& öNåk÷]tã ( bÎ)ur óÚÌ÷èè? óOßg÷Ytã `n=sù x8rÛØo $\«øx© ( ÷bÎ)ur |MôJs3ym Nä3÷n$$sù NæhuZ÷t/ ÅÝó¡É)ø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$# ÇÍËÈ
Terjemahnya:
Mereka itu adalah orang-orang yang suka
mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi)
datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu)
diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka
maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu
memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan
adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.[19]
Termasuk bagian dari pengucilan itu adalah
tidak memilih pelaku koruptor sebagai pemimpin formal, baik sebagai wakil
rakyat (anggota DPR, DPD, dan DPRD) dan pejabat, dan tidak mengakuinya sebagai
pemimpin nonformal (pemuka masyarakat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama).
b. Tidak diterima kesaksiannya, seperti kesaksian
dalam pembuktian hukum di pengadilan, kesaksiannya dalam itsbat (penetapan)
awal ramadhan/syawal, dan lain-lain. Kesaksian seorang pengkhianat tidak
diterima, sementara pelaku korupsi adalah orang yang telah berkhianat. Termasuk
bagian dari penolakan pelaku korupsi sebagai saksi adalah menolaknya sebagai
saksi persengketaan di luar maupun di dalam pengadilan, saksi pernikahan, dan saksi
lainnya.[20]
3) Sanksi Moral
Melihat dampak yang sangat serius, maka sanksi
moral juga menjadi sangat penting untuk diterapkan pada pelaku korupsi. Tujuan
sanksi moral adalah agar kalangan Muslim sebagai masyarakat beragama, terutama
tokoh-tokoh agamanya, terus-menerus mangingatkan bahwa korupsi adalah perbuatan
yang sangat bertentangan dengan moral agama sehingga masyarakat tidak lagi
permisif (bersifat terbuka) terhadap tindak kejahatan korupsi.
Berikut ini adalah beberapa sanksi moral yang
bisa diterapkan pada pelaku tindak pidana korupsi:
a. Jenasahnya tidak dishalati oleh para pemuka
agama.
b. Koruptor adalah orang tercela dan celaka
karena mereka berbuat curang.
c. Koruptor dilaknat Allah karena koruptor telah
melakukan kejahatan yang lebih besar daripada riswah.
4) Sanksi di Akhirat
Sebagaimana sebuah kebajikan mempunyai balasan
di akhirat, Islam menegaskan bahwa kejahatan juga mempunyai sanksi diakhirat,
disamping sanksi di dunia. Keyakinan atas adanya sanksi di akhirat itu
diharapkan dapat mencegah masyarakat Muslim dari korupsi. Beberapa sanksi di
akhirat bagi pelaku tindak kejahatan korupsi adalah sebagai berikut:
a. Korupsi dapat menghalangi pelakunya masuk
surga karena harta hasil korupsi termasuk al-shut.
b. Tidak hanya mencegah masuk surga, korupsi juga
dapat menyebabkan pelakunya masuk neraka.
c. Harta hasil korupsi akan membebaninya pada
Hari Kiamat karena korupsi juga merupakan ghulul.[21]
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Setelah menguraikan dari bab ke bab, maka
dapat disimpulkan pada setiap pembahasan agar lebih muda dipahami, yakni
sebagai berikut:
1. Secara yuridis formal tindak pidana korupsi
diatur dalam berbagai perundang-undangan khususnya dalam UU No. 31 Tahun 1999
dan UU No. 20 Tahun 2001,sedangkan dalam
perspektif hukum Islam disebut dalam berbagai berbagai istilah dalam Al-qur’an
dan pendapat para ulama. Korupsi dalam perspektif hukum Islam yang dikemukakan
oleh para alim ulama dimaknai sebagai suatu bentuk perbuatan syirik karena
tidak lagi meyakini Allah sebagai tuhannya dan menjadikan uang sebagai sumber
kekuatan (the power of money). Selain itu, korupsi (al-ghulul) juga
dapat berarti mengambil harta dari ghanimah (rampasan perang) karena
takut tidak mendapat bagian setelah ghanimah itu dibagikan. Secara
kriminologi tindak pidana korupsi tidak akan pernah hilang, namun dapat
diminimalisir dengan pemberian pendidikan agama, pendidikan moral, serta
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. Konsep penerapan sanksi tindak pidana korupsi dalam
perspektif hukum positif yakni dengan memberikan sanksi berupa pidana penjara, pidana
denda dan penerapan pidana mati yang diterapkan pada kondisi tertentu seperti
pada saat Negara dalam keadaan krisis. Sedangkan penerapan sanksi terhadap
pelaku tindak pidana korupsi dalam perspektif hukum Islam terdapat beberapa jenis
sanksi yang bisa diterapkan yakni berupa sanksi di dunia, sanksi sosial, sanksi
moral dan sanksi di akhirat.
3. Strategi pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi, yakni dengan upaya prefentif atau pencegahan dengan pengawasan oleh
aparat penegak hukum. Selanjutnya, yakni dengan menetapkan rencana aksi
nasional pemberantasan korupsi (RAN-PK) 2004-2009. Selain itu, lembaga yang
berwenang dalam hal ini KPK dan juga Jaksa Agung turut andil dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi. Sedangkan pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi dalam perspektif
hukum Islam yakni dilakukan melalui jalur pendidikan dan jalur
keagamaan.
B.
Implikasi Penelitian
Al-hamdulillah penulis berharap dengan
selesainya skripsi ini sebagai sebuah karya tulis ilmiah dapat menjadi salah
satu bagian yang turut memberikan sumbangsi pemikiran khususnya terkait dengan
persoalan tindak pidana korupsi baik dalam perspektif hukum positif maupun
dalam perspektif hukum Islam. Penulis juga berharap skripsi ini tidak hanya
sekedar memberikan sumbangsi pemikiran, akan tetapi juga dapat dijadikan
sebagai referensi dalam meningkatkan pemahaman kita khususnya terkait dengan
persoalan tindak pidana korupsi.
Akhirnya penulis berharap semoga Skripsi ini
dapat memberi manfaat kepada seluruh kalangan baik dari kalangan atas maupun
dari kalangan bawah serta dapat bernilai
ibadah yang menjadi wasilah bagi penulis untuk mendapat limpahan kasih
sayang-Nya sekaligus Ridha-Nya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Dinar, Syaiful, Syarif
Fadillah dan Chaeruddin. Strategi
Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. Cet.2; Bandung: PT
Refika Aditama, 2009.
Ann Elliot,
Kimberly. Corruption and The Global
Economy. Cet. I; Jakarta: Terjemahan
Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Andi Hamzah,
Jur. Perbandingan Pemberantasan Korupsi
di berbagai Negara. Cet. I;
Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Alim katu, Mas. Korupsi
Malu Ah. Cet.1; Makasssar: Pustaka Refleksi, 2007.
Abdurrahman
dan Soejono. Metode Penelitian Hukum. Cet.
2; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan
Terjemahnya. Bandung: CV PENERBIT J-ART, 2007.
Gassing, Qadir dan Wahyuddin Halim. Pedoman Penulisan Karya Tulis
Ilmiah: Makalah, Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Cet. II; Makassar: Alauddin
Press, 2009.
Hamzah, Andi. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Hasan, Cik. Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penyusunan Skripsi. Cet. 2;
Jakarta: Logos, 1998.
Hartanti, Evi. Tindak Pidana Korupsi. Cet.3; Jakarta: Sinar Grafika,
2009.
Kaufmann, Daniel. Governance and Corruption: New Empirical
Frontiers for Program Design, 1988.
KUHAP dan KUHP.
Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Komisi Pemberantasan Korupsi. Memahami Untuk Membasmi: Buku Saku untuk
Memahami Tindak Pidana Korupsi. Cet. 2; Jakarta: KPK, 2006.
McWALTERS, IAN.
Memerangi Korupsi: Sebuah Peta Jalan
Untuk Indonesia. Cet.I; Surabaya: PT. Temprina Media Grafika, 2006.
Marfaung,
Leden. Tindak Pidana Korupsi Masalah dan Pemecahannya. Cet. I; Jakarta: Sinar
Grafika, 1992.
M. Tuanakotta,
Theodorus. Menghitung Kerugian Keuangan
Negara dalam Tindak Pidana Korupsi. Cet. I; Jakarta: Salemba Empat, 2009.
Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Cet. 6; Yogyakarta: Gaja Mada Universitas Press, 1995.
Pope, Jeremy. Confronting
Corruption: The Elements Of National Integrity System. Jakarta: Terjemahan Yayasan Obor Indonesia, 2003.
Salam, A.S. Pengantar Kriminologi. Cet. 1; Makassar: Pustaka
Refleksi, 2010.
Soejono dan
Abdurrahman. Metode Penelitian Hukum. Cet. 2; Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003.
Soedarso,
Boesono. Latar Belakang Sejarah dan
Kultural Korupsi di Indonesia. Cet.I; Jakarta: UI-Press, 2009.
Suteja, Hardiansyah.
Telaah
Fiqih Dalam Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama:
Koruptor Itu Kafir. Cet. 1; Jakarta Selatan: Mizan, 2010.
Santoso, Topo
dan Eva Achjani Zulfa. Kriminologi.
Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001.
Tompo, Rusdin
dan Ilyas Joseph. Ayo Lawan Korupsi.
Cet. I; Makassar: LBH-P2i, 2005.
UU No 20 Tahun 2001. Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Jakarta, 2001.
UU No. 31 Tahun 1999. Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Jakarta, 1999.
Wiyono, R. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan
Korupsi. Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Soesilo. R. Pokok-Pokok Hukum Pidana
Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus. Bandung: PT. Karya Nusantara,
1979.
[1] Chaeruddin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif
Fadillah, Strategi
Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi (Cet.II; Bandung: PT
Refika Aditama, 2009), h. 13.
[2] Jur Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi
Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional (Cet. II; Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006), h. 247-248.
[3] Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung
Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi (Cet. I; Jakarta: Salemba Empat, 2009), h. 44.
[4] Hardiansyah
Suteja, Telaah Fiqih Dalam
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama: Koruptor Itu Kafir (Cet. I; Jakarta
Selatan: Mizan, 2010), h. 53-54.
[9] Hardiansyah Suteja, op. cit., h. 50-52.
[10] Lihat UU No. 31 Tahun 1999, Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Jakarta, 1999), h. 3.
[11] Lihat UU No 20 Tahun 2001, Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Jakarta, 2001), h. 3,5-7.
[13] Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami
untuk Membasmi: Buku Saku untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi (Jakarta:
KPK, 2006), h. 69,73.
[14] Lihat UU No 20 Tahun 2001, op.cit.,
h. 4.
[17] Hardiansyah Suteja, op. cit., h. 134.
[18] Hardiansyah Suteja, op. cit., h. 135.
[19] Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya (Bandung: CV PENERBIT J-ART, 2007), h. 114.
[20] Hardiansyah Suteja, op. cit., h. 136.
[21] Hardiansyah Suteja, op. cit., h. 137-140.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar